A. Arti Penegakan Hukum
Memang bagi orang awam, penegakan hukum semata
dilihatnya sebagai tindakan represif dari aparat hukum, tindakan di luar dari
aparat hukum hanya dipandangnya sebagai partisan hukum, misalnya tindakan
informatif terhadap aparat hukum adanya peristiwa hukum atau gejala akan terjadinya
peristiwa hukum. Sebenarnya
penegakan hukum dalam konteks yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan
atau prilaku nyata atau faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau norma yang
mengikat
Pada perspektif akademik, Purnadi Purbacaraka, menyatakan
bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan
mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (1977). Soerjono
Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang
baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan prilaku nyata manusia (1983:13).
Liliana Tedjosaputro,
menyatakan bahwa penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement
tetapi juga peace maintenance, oleh karena penegakan hukum merupakan
proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata,
yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan keadilan (2003:66).
Tugas utama
penegakan hukum, adalah untuk mewujudkan keadilan, karenanya dengan penegakan
hukum itulah hukum menjadi kenyataan (Liliana, 2003 : 66). Tanpa penegakan
hukum, maka hukum tak ubahnya hanya merupakan rumusan tekstual yang tidak
bernyali, yang oleh Achmad Ali biasa disebut dengan hukum yang mati.
Untuk membuat hukum menjadi hidup harus ada
keterlibatan nyata oleh manusia untuk merefleksikan hukum itu dalam sikap dan
prilaku nyata yang konkrit.Tanpa cara demikian maka hukum tertidur pulas dengan
nyenyak yang kemungkinannya hanya menghasilkan mimpi-mimpi. Karena itu tidak
ada cara lain agar hukum dapat ditegakkan maka perlu pencerahan pemahaman hukum
bahwa sesungguhnya hukum itu tidak lain adalah sebuah pilihan keputusan,
sehingga tak kala salah memilih keputusan dalam sikap dan prilaku konkrit, maka
berpengaruh buruk terhadap penampakan hukum di ranah empiris.
Penegakan hukum merupakan pusat dari
seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum,
pembentukan hukum, penegakan hukum dan
evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi
antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang
berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu,
penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan
hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum
mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam
penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman
tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problema-problema hukum yang akan
selalu menonjol adalah problema “law in
action” bukan pada “law in the books”.
Bahkan penegakan hukum dalam
arti yang lebih luas lagi, termasuk kegiatan penegakan hukum yang mencakup
segala aktivitas yang bermaksud agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif
yang mengatur dan mengikat para subyek hukum dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan
sebagaimana mestinya (Jimly,2008:22).
Dalam arti
sempit, penegakan hukum menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap
pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya
yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat
kepolisian, kejaksaan, advokat dan badan-badan peradilan.
Sudikno Mertokusumo (2005:160), menyatakan bahwa untuk
memfungsikan hukum secara nyata, maka harus dilakukan penegakan hukum, oleh
karena dengan jalan itulah maka hukum menjadi kenyataan dan dalam kenyataan
hukum harus mencerminkan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
(zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).
Demi supremasi hukum, maka penegakan hukum tidak boleh
ditawar-tawar. Namun dalam implementasinya tetap harus dengan cara-cara yang
mencerminkan nilai-nilai kemanusian, oleh karena hukum itu sendiri harus
difungsikan sebagai sarana memanusiakan manusia. Bukan justru dengan cara yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi manusia.
B. Arti Penting Etika Profesi Hukum
Dewasa
ini tantangan yang dihadapi oleh ajaran-ajaran moral makin kompleks.
Indroktinas dalam ajaran-ajaran moral akan sering dipertanyakan jika tidak lagi
mampu memberikan orientasi yang jelas bagi penganutnya. Kekaburan orientasi itu
muncul karena bertambah banyaknya ragam orientasi yang ada. Salah satu
keragaman orientasi itu ditandai oleh berbagai ideologi yang saling menawarkan
diri sebagai yang pilihan terbaik. Padahal, apa yang sering dianggap baik
menurut salah satu pihak dianggap buruk oleh yang lainnya. Bagi penyandang
profesi hukum hal ini sangat menimbulkan kebingungan untuk menentukan sikap,
karena kehilangan orientasi (disorientasi). Di inilah letak arti penting
mempelajari etika profesi hukum.
Tantangan
mempelajari etika profrsi hukum tentu ada, khususnya ketika
pertimbangan-petimbangan yang diungkapkan dianggap bertolak belakang dengan
perilaku yang ditunjukan oleh para penyandang profesi hukum tersebut. Hal ini
memunculkan sisnisme yang berlebihan bahwa berbicara tentang etika profesi
hukum tidak lain seperti berdiri di menara gading, tidak membumi, tidak
idealis, sok moralis dan sebagainya.
Di
perguruan tinggi di Indonesia, etika profesi hukum dapat dikatakan masih menjadi
bahan kajian yang “serbatanggung”. Materi ini khusunya yang diajarkan Program
Sarjana Ilmu Hukum. Belum lama dilangsungkan dan dimasukkan dalam kurikullum.
Memang dibeberapa perguruan tinggi sudah
Ada
yang mengambil inisiatif mengadakan mata kuliah khusus tentang etika profesi
hukum ini. Tetapi secara nasional baru pada tahun 1994 materi ini dijadikan
materi wajib. Itupun materinya masih disatukan dengan perkuliahan filsafat
hukum yang secara keseluruhan diberi bobot
4 sks. Karena masih relative baru, materi minimal yang harus diberikan
kepada mahasiswa belum tersistematis dengan baik. Semua bergantung improvisasi
pada setiap dosen masing-masing untuk mengisinya.
Materi
etika profesi hukum memang selayaknya diberikan kepada mahasiswa penyandang
profesi hukum sdini mungkin. Seperti yang dinyatakan oleh Franz Magnis Suseno.
Etika profesi hukum baru dapat ditegakkan apabila ada tiga ciri moralitas yang
utama yaitu :
1. Berani
berbuat dengan bertekad bertindak sesuai tuntutan profesi
2. Sadar
akan kewajibannya, dan
3. Mempunyai
idealisme yang tinggi.
Jelas,
moralitas demikian membutuhkan paling tidak harus terbina sejak calon
penyandang profesi hukum dididik di bangku kuliah, bukan yang bersangkutan
sudah menjalankan tugasnya sebagai fungsionaris hukum.
Secara
jujur harus diakui, bahwa pengembangan etika profesi hukum di Indonesia kurang
berjalan baik dalam dunia hukum kita. Banyak pelanggaran etika profesi yang
tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, bahkan terkesan didiamkan. Lembaga
semacam dewan atau majelis pertimbangan
profesi yang bertugas meniliai pelanggaran etika masih belum berwibawa di mata
para anggotannya. Kondisi demikian menyebabkan kajian etika profesi hukum di
Indonesia menjadi sangat kering dan berhenti pada ketentuan-ketentuan normatif
yang abstrak. Padahal, kajian ini pasti lebih menarik jika dibentangkan contoh
kasus nyata yang dihadapi para fungsionaris hukum kita. Munculnya berbagai
organisasi profesi sejenis dengan kode etikanya sendiri, semakin mengurangi
nilai kajian ini di mata orang yang mempelajari etika profesi hukum.
Indonesia
adalah Negara hukum. Hal ini secara tegas diamanatkan oleh konstitusi kita.
Salah satu pilar penting dalam tegaknya negar hukum adalah keberadaan para
penyandang profesi hukum. Arahan dalam pembangunan nasional juga
menggarisbawahi pentingnya pembangunan aparatur hukum yang bersih dan berwibawa
yang senantiasa menegakkan etika profesi. Dengan kata lain, apapun kondisi yang
dipersepsikan terhadap hukum di Indonesia. Profesi ini secara instrik merupakan
profesi luhur (officium nobile) yang dibutuhkan oleh masyarakat, bangsa dan
Negara.
Etika
profesi hukum secara langsung bersinggungan dengan sumber daya manusia tepatnya
dalam segi psikis. Jika pembangunan Indonesia diartikan sebagai pembangunan
manusia seutuhnya, maka psikis disini jelas merupakan yang tidak dapat
dipisahkan dengan pembangunan itu sendiri. melupakan pembangunan dari unsur
psikis, sama artinya menggagalkan pembangunan.
Pengakan
hukum bagi fungsionaris hukum Indonesia tentu bukan pekerjaan yang dapat
dilihat hasilnya dalam sekejap. Sebab
hal tersebut tentu saja berbeda dengan pembangunan sarana fisik yang dapat
ditargetkan kapan harus selesai. Etika profesi hukum adalah “pendidikan” yang terus-menerus, berkesinambungan dan tidak
terpisahkan dengan nilai-nilai kepribadian dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
C. Kepolisian Sebagai Aparat Penegak
Hukum
Dalam perspektif kriminologi, kejahatan bukan saja suatu perbuatan
yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi mencakup
setiap perbuatan anti sosial yang merugikan masyarakat, meskipun perbuatan
tersebut belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. Hal
tersebut menunjukkan bahwa peranan polisi dalam menegakkan hukum memiliki
posisi yang sangat penting karena mereka berhubungan langsung dengan masyarakat
maupun pelanggar hukum.
Polisi merupakan aparat
penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Polisi diberi ruang
oleh hukum untuk mengambil berbagai tindakan yang diperlukan menurut pertimbangan sesaat pada waktu kejadian
berlangsung. Berdasarkan kewenangan tersebut, polisi diperbolehkan untuk
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan
tindakan kejahatan berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah
ditetapkan.
Sepak terjang polisi akan langsung dilihat dan
dirasakan oleh masyarakat. Pada kontak langsung dengan masyarakat inilah citra
polisi akan sangat ditentukan. Citra polisi yang buruk di masyarakat
dikarenakan polisi kurang mampu bersikap mandiri dalam mengusut kasus kejahatan
yang akan membawa dampak pada proses pemeriksaan pelaku kejahatan pada tahap
berikutnya.
Polisi dalam menjalankan tugasnya selaku aparat penegak hukum harus
berlandaskan pada UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Undang-undang Kepolisian
Negara. Berdasarkan UU tersebut, yang dimaksud dengan kepolisan adalah seperti
yang tertera dalam UU RI tahun 2002
tentang kepolisian Negara:
Pasal 1
1. Kepolisian
adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi Sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.[1]
1.
PERAN dan FUNGSI
Pasal 2
Fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan Keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
danPelayanan kepada masyarakat.[2]
Pasal 5
(1) Kepolisian
Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam Memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta Memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam Rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri.[3]
2.
TUGAS-TUGAS POKOK
Pasal
13
Tugas
pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan
hukum; dan
c.
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[4]
Pasal 14
(1) Dalam
melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan,
penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah
sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan
dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan
warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum
nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin
keamanan umum;
f.
Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi
kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga,
harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan
bantuan
dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga
masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang
berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada
masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. Melaksanakan
tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan..[5]
3.
PENYELIDIK
a.
Pengertian
Menurut Pasal 4 KUHAP
Penyelidik
adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
b.
Wewenang
Wewenang penyelidik
tercantuk dalam pasal 5 KUHAP sebagai berikut :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2.Mencariketerangandanbarangbukti;
3.Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tandapengenaldiri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
b. atas perintah penyidik, dapat melakukan
tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
1.
PENYIDIKAN
a.
Pengertian
Menurut pasal 6 KUHAP adalah sebagai berikut:
(1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
b. wewenang
penyidik
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di
tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.[6]
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.[6]
Berdasarkan
ketentuan diatas Nampak secara tegas dinyatakan bahwa peran
KepolisianNegara Republik Indonesia
salah satunya penegak hukum. Penegakan hukum merupakan tugas pokok yang harus dijalankan oleh anggota
Kepolisisan.
c.
PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM
Pelaksanaan
pengekan hukum dalam masyarakat haruslah memperhatikan bebrapa hal, antara lain
:
(1)
Manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat
(2)
Mencapai
nilai keadilan
(3)
Mengandung
nilai-nilai keadilan[7]
Secara
Universal kegiatan-kegiatan penegakan hukum dapat berupa : pencegahan
(preventif) dan represif.[8]
1.
Tindakan
Pencegahan (preventif)
Preventif
yaitu segala usaha atau tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran
hukum. Usaha ini dapat berupa :
a.
Peningkatan
kesadaran hukum bagi warga Negara sendiri
b.
Tindakan
patrol atau pengamanan kebijakan penegak hukum
c.
Pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan,penilitaian, dan pengembangan statistic
criminal.
2.
Tindakan
Represif
Yaitu
tindakan yang harus dilakukan aparat Negara tertentu seseuai dengan
ketentuan-ketentuan acara yang berlaku bila terjadi suatu pelanggaran hukum
bentuk-bentuk dari pada tindakan represif dapat berupa :
a.
Tindakan
administrasi
b.
Tindakan
yuridis atau tindakan hukum, yang meliputi antara lain (1)penyelidikan; (2) penuntutan; (3) pemeriksaan oleh
pengadilan; (4) pelaksanaan keputusan pengadilan atau eksekusi.
Harapan Kinerja Lembaga Peradilan dan Institusi-Institusi
Penegak Hukum Demi Tegaknya Supremasi Hukum.
Pada saat ini kita dapat mengamati,
melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak
menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam
pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam
pengelolaan APBN dan APBD dikalangan birokrasi. Daftar ketidakpuasan masyarakat
dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali
lembara-lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus
Sengkon dan Karta, Kasus Tanah Keret di Papua dan lain-lainnya.
Pengadilan
yang merupakan representasi utama wajah
penegakan hukum dituntut untuk mampu
melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan,
kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya.
Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum di atas telah
mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan
lembaga-lembaga hukum[9].
Mungkin benar
apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap
lembaga-lembaga hukum telah berada pada titik nadir. Hampir setiap saat
kita dapat menemukan berita, informasi, laporan ataupun ulasan yang
berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah
merosotnya rasa hormat masyarakat
terhadap wibawa hukum.
Prof.
Dr. R. Otje Salman S, SH. Dalam kata pengantar buku yang ditulis Anton F.
Soesanto, SH.,M.Hum. berjudul “Wajah Peradilan Kita” antara lain mengemukakan:
“Praktisi hukum apabila membicarakan peradilan selalu
mengkaji dalam bentuk kajian inovatif positif fiktif, selalu kajian yang
senantiasa berada domain aturan perundang-undangan, sehingga peradilan dilihat
sebagai komunitas yang tampak tertib dan teratur karena hanya menampilkan
bagian depan (front side) peradilan itu. Peradilan digambarkan sebagai wilayah
tanpa masalah dan steril. Namun apakah demikian kenyataannya? Nampaknya kita perlu
membuka mata, hati dan pikiran kitauntuk melihat lebih jauh, melihat secara
mendalam apa yang terjadi di balik proses pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan
dan pengadilan, melihat pataloginya, sehingga tidak saja sisi depan tetapi
bagian belakang juga terlihat jelas. Dengan terbunya pintu belakang nampaknya
peradilan itu tidak seindah warna aslinya”.[10]
Dengan
memperhatikan pendapat Prof. Dr. R. Otje Salman S., SH. tersebut di atas kita
masih belum dapat mewujudkan harapan kita terwujudnya peradilan dengan segala
kelembagaannya yang ideal. Hal tersebut disebabkan karena pada umumnya
pereadilan belum didukung oleh unsure-unsur aparat yang memiliki kemampuan dan
dedikasi yang tinggi. Ada sementara pendapat mengenai adanya mafia peradilan
seperti yang banyak kita baca dan dengar melalui media-media masa baik
elektronik maupun cetak. Fenomena tersebut memang sulit untuk dibuktikan tanpa
adanya kesungguhan dari masyarakat dan unsur-unsur penegak hukum dalam rangka
pembuktiannya.
Dalam
pengantar buku yang ditulis oleh Anton E. Soesanto, SH. M. Hum. Tersebut diatas
antara lain disebutkan bahwa kritik yang dilontarkan oleh berbagai kalangan terhadap peradilan di Indonesia telah menjurus ke arah caci maki dan sumpah serapah. Hendak diapakan
peradilan dalam kondisi seperti sekarang ini? Bukan semata-mata ungkapan sinis
dan pesimis nemun realitas yang
berlangsung mempertotonkan sebuah peradilan dagelan, peradilan yang
didalamnya penuh nuansa formalitas yang pada akhirnya menjadikan peradilan
sebagai supermarket (jual beli keadilan)
Masyarakat
terus belajar dan semakin kritis. Dalam skema proses masyarakat memainkan peran
penting dalam peradilan, artinya perdilan tidak dapat dilepaskan dari peran
masyarakat khususnya dalam realitas pembentukan kontrol. Masyarakat tidak dapat
dimarginalkan dan hanya dilihat sebagai pengguna jasa peradilan semata, karena pada dasarnya
peradilan sangat bergantung pada penilaian, judgment atau sikap kritis yang dibangun
oleh masyarakat itu. Dengan kata lain hidup dan matinya peradilan ditentukan
oleh masyarakat.
Peradilan
diharapkan semakin harmonis, atau paling tidak diarahkan untuk menjadi demikan
dengan menjunjung tinggi nilai due process bukan merupakan kegiatan yang
bersifat kepura-puraan atau tipu daya parasit keadilan. Dan adanya struktur
birokrasi kelembagaan hukum yang efektif dan efesien, adanya penegak hukum yang
profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, dan itu semua harus
didukung dengan budaya masyarakat yang selalu menjunjung tinggi rule of law
serta menyiapkan perangkat hukum yang demokratis.
Wahyuddin Husein
Hufron (2008:211), menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang mempunyai
nilai-nilai yang baik adalah yang dapat menjamin kehidupan sosial masyarakat
yang lebih berkesejahtraan, berkepastian dan berkeadilan.
Dari segi pendekatan
akademik, dapat dikemukakan tiga konsep penegakan hukum sebagai berikut:
1.
Total enforcement
concept
2.
Fullen force ment
concept;
3.
Actualen
forcement concept.
Konsep penegakan hukum yang bersifat total, menuntut agar
semua nilai yang ada dibalik norma hukum turut ditegakkan tanpa kecuali. Konsep
yang bersifat full yang menghendaki perlunya pembatasan dari konsep total
dengan suatu hukum formil dalam rangka
perlindungan kepentingan individual. Konsep penegakan hukum actual muncul
setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena
keterbatasan-keterbatasan yang ada dan kurangnya peran serta masyarakat
(Wahyuddin H Hufron, 2008:212).
[1] Lihat pasal 1 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian Republik
Indonesia
[2] Lihat pasal 2 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian Republik
Indonesia
[3] Lihat pasal 5 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian Republik
Indonesia
[4] Lihat pasal 13 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian
Republik Indonesia
[5] Lihat pasal 14 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian
Republik Indonesia
[6] Lihat KUHAP pasal 7
[7] Riduan Syahrani, rangkuman initsari ilmu hukum, bandung: citra
aditya bakti h, 192-193
[8] Lihat Tim Dinas komando Armada kawasan Timur ,h 28
[9] Yang dimaksudkan dengan lembaga-lembaga hukum adalah Pengadilan,
Kejaksaan, Kepolisian, Organisasi Pengacara. Perilaku individu-individu yang
ada dalam lembaga tersebut secara agregatif membentuk citra lembaga.
Tertangkapnya Jaksa yang menjadi pengedar Narkoba, pengacara yang menyuap
hakim, maupun rekening tabungan polisi
yang diluar kewajaran, secara simbolik menunjukan bahwa dalam lembaga-lembaga
tersebut terdapat masalah yang harus diselesaikan lebih dahulu secara internal.
[10] Tegoeh Soejono. Penegakan Hukum Demi Keadilan dan Kepastian Hukum.
(Jakarta: Prestasi Pustaka. 2006) hlm. 133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar