Kamis, 21 November 2013

Arti Penegakan Hukum


A.  Arti Penegakan Hukum
           
Apa yang diartikan orang selama ini sebagai penegakan hukum (law enforcement) sepertinya hanya tertuju pada adanya tindakan represif dari aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tegas terhadap penindakan pelaku kriminal. Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi tanggung jawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh karena penegakan hukum konteksnya luas, termasuk tanggung jawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pribadi hukum (perzoonlijk) melekat kewajiban untuk menegakkan hukum.
            Memang bagi orang awam, penegakan hukum semata dilihatnya sebagai tindakan represif dari aparat hukum, tindakan di luar dari aparat hukum hanya dipandangnya sebagai partisan hukum, misalnya tindakan informatif terhadap aparat hukum adanya peristiwa hukum atau gejala akan terjadinya peristiwa hukum. Sebenarnya penegakan hukum dalam konteks yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan atau prilaku nyata atau faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau norma yang mengikat
            Pada perspektif akademik, Purnadi Purbacaraka, menyatakan bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (1977). Soerjono Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan prilaku nyata manusia (1983:13). 
            Liliana Tedjosaputro, menyatakan bahwa penegakan hukum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, oleh karena penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku nyata, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan keadilan (2003:66).

            Tugas utama penegakan hukum, adalah untuk mewujudkan keadilan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan (Liliana, 2003 : 66). Tanpa penegakan hukum, maka hukum tak ubahnya hanya merupakan rumusan tekstual yang tidak bernyali, yang oleh Achmad Ali biasa disebut dengan hukum yang mati. 
            Untuk membuat hukum menjadi hidup harus ada keterlibatan nyata oleh manusia untuk merefleksikan hukum itu dalam sikap dan prilaku nyata yang konkrit.Tanpa cara demikian maka hukum tertidur pulas dengan nyenyak yang kemungkinannya hanya menghasilkan mimpi-mimpi. Karena itu tidak ada cara lain agar hukum dapat ditegakkan maka perlu pencerahan pemahaman hukum bahwa sesungguhnya hukum itu tidak lain adalah sebuah pilihan keputusan, sehingga tak kala salah memilih keputusan dalam sikap dan prilaku konkrit, maka berpengaruh buruk terhadap penampakan hukum di ranah empiris.
            Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan  evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistik. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problema-problema hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action”  bukan pada “law in the books”.
            Bahkan penegakan hukum dalam arti yang lebih luas lagi, termasuk kegiatan penegakan hukum yang mencakup segala aktivitas yang bermaksud agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subyek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya (Jimly,2008:22).
           
Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi, melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat dan badan-badan peradilan.
            Sudikno Mertokusumo (2005:160), menyatakan bahwa untuk memfungsikan hukum secara nyata, maka harus dilakukan penegakan hukum, oleh karena dengan jalan itulah maka hukum menjadi kenyataan dan dalam kenyataan hukum harus mencerminkan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan  keadilan (gerechtigkeit).
            Demi supremasi hukum, maka penegakan hukum tidak boleh ditawar-tawar. Namun dalam implementasinya tetap harus dengan cara-cara yang mencerminkan nilai-nilai kemanusian, oleh karena hukum itu sendiri harus difungsikan sebagai sarana memanusiakan manusia. Bukan justru dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan perampasan hak asasi manusia.

B.  Arti Penting Etika Profesi Hukum
Dewasa ini tantangan yang dihadapi oleh ajaran-ajaran moral makin kompleks. Indroktinas dalam ajaran-ajaran moral akan sering dipertanyakan jika tidak lagi mampu memberikan orientasi yang jelas bagi penganutnya. Kekaburan orientasi itu muncul karena bertambah banyaknya ragam orientasi yang ada. Salah satu keragaman orientasi itu ditandai oleh berbagai ideologi yang saling menawarkan diri sebagai yang pilihan terbaik. Padahal, apa yang sering dianggap baik menurut salah satu pihak dianggap buruk oleh yang lainnya. Bagi penyandang profesi hukum hal ini sangat menimbulkan kebingungan untuk menentukan sikap, karena kehilangan orientasi (disorientasi). Di inilah letak arti penting mempelajari etika profesi hukum.
Tantangan mempelajari etika profrsi hukum tentu ada, khususnya ketika pertimbangan-petimbangan yang diungkapkan dianggap bertolak belakang dengan perilaku yang ditunjukan oleh para penyandang profesi hukum tersebut. Hal ini memunculkan sisnisme yang berlebihan bahwa berbicara tentang etika profesi hukum tidak lain seperti berdiri di menara gading, tidak membumi, tidak idealis, sok moralis dan sebagainya.
Di perguruan tinggi di Indonesia, etika profesi hukum dapat dikatakan masih menjadi bahan kajian yang “serbatanggung”. Materi ini khusunya yang diajarkan Program Sarjana Ilmu Hukum. Belum lama dilangsungkan dan dimasukkan dalam kurikullum. Memang dibeberapa perguruan tinggi sudah
Ada yang mengambil inisiatif mengadakan mata kuliah khusus tentang etika profesi hukum ini. Tetapi secara nasional baru pada tahun 1994 materi ini dijadikan materi wajib. Itupun materinya masih disatukan dengan perkuliahan filsafat hukum yang secara keseluruhan diberi bobot  4 sks. Karena masih relative baru, materi minimal yang harus diberikan kepada mahasiswa belum tersistematis dengan baik. Semua bergantung improvisasi pada setiap dosen masing-masing untuk mengisinya.
Materi etika profesi hukum memang selayaknya diberikan kepada mahasiswa penyandang profesi hukum sdini mungkin. Seperti yang dinyatakan oleh Franz Magnis Suseno. Etika profesi hukum baru dapat ditegakkan apabila ada tiga ciri moralitas yang utama yaitu :
1.    Berani berbuat dengan bertekad bertindak sesuai tuntutan profesi
2.    Sadar akan kewajibannya, dan
3.    Mempunyai idealisme yang tinggi.
Jelas, moralitas demikian membutuhkan paling tidak harus terbina sejak calon penyandang profesi hukum dididik di bangku kuliah, bukan yang bersangkutan sudah menjalankan tugasnya sebagai fungsionaris hukum.
Secara jujur harus diakui, bahwa pengembangan etika profesi hukum di Indonesia kurang berjalan baik dalam dunia hukum kita. Banyak pelanggaran etika profesi yang tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, bahkan terkesan didiamkan. Lembaga semacam dewan atau majelis  pertimbangan profesi yang bertugas meniliai pelanggaran etika masih belum berwibawa di mata para anggotannya. Kondisi demikian menyebabkan kajian etika profesi hukum di Indonesia menjadi sangat kering dan berhenti pada ketentuan-ketentuan normatif yang abstrak. Padahal, kajian ini pasti lebih menarik jika dibentangkan contoh kasus nyata yang dihadapi para fungsionaris hukum kita. Munculnya berbagai organisasi profesi sejenis dengan kode etikanya sendiri, semakin mengurangi nilai kajian ini di mata orang yang mempelajari etika profesi hukum.
Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini secara tegas diamanatkan oleh konstitusi kita. Salah satu pilar penting dalam tegaknya negar hukum adalah keberadaan para penyandang profesi hukum. Arahan dalam pembangunan nasional juga menggarisbawahi pentingnya pembangunan aparatur hukum yang bersih dan berwibawa yang senantiasa menegakkan etika profesi. Dengan kata lain, apapun kondisi yang dipersepsikan terhadap hukum di Indonesia. Profesi ini secara instrik merupakan profesi luhur (officium nobile) yang dibutuhkan oleh masyarakat, bangsa dan Negara.
Etika profesi hukum secara langsung bersinggungan dengan sumber daya manusia tepatnya dalam segi psikis. Jika pembangunan Indonesia diartikan sebagai pembangunan manusia seutuhnya, maka psikis disini jelas merupakan yang tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan itu sendiri. melupakan pembangunan dari unsur psikis, sama artinya menggagalkan pembangunan.
Pengakan hukum bagi fungsionaris hukum Indonesia tentu bukan pekerjaan yang dapat dilihat hasilnya dalam sekejap.  Sebab hal tersebut tentu saja berbeda dengan pembangunan sarana fisik yang dapat ditargetkan kapan harus selesai. Etika profesi hukum adalah “pendidikan” yang  terus-menerus, berkesinambungan dan tidak terpisahkan dengan nilai-nilai kepribadian dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

C.  Kepolisian Sebagai Aparat Penegak Hukum
Dalam perspektif kriminologi, kejahatan bukan saja suatu perbuatan yang melanggar undang-undang atau hukum pidana tetapi lebih luas lagi mencakup setiap perbuatan anti sosial yang merugikan masyarakat, meskipun perbuatan tersebut belum atau tidak diatur oleh undang-undang atau hukum pidana. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan polisi dalam menegakkan hukum memiliki posisi yang sangat penting karena mereka berhubungan langsung dengan masyarakat maupun pelanggar hukum.
Polisi merupakan aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Polisi diberi ruang oleh hukum untuk mengambil berbagai tindakan yang diperlukan menurut  pertimbangan sesaat pada waktu kejadian berlangsung. Berdasarkan kewenangan tersebut, polisi diperbolehkan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan tindakan kejahatan berdasarkan bukti-bukti dan aturan hukum yang telah ditetapkan.
Sepak terjang polisi akan langsung dilihat dan dirasakan oleh masyarakat. Pada kontak langsung dengan masyarakat inilah citra polisi akan sangat ditentukan. Citra polisi yang buruk di masyarakat dikarenakan polisi kurang mampu bersikap mandiri dalam mengusut kasus kejahatan yang akan membawa dampak pada proses pemeriksaan pelaku kejahatan pada tahap berikutnya.
Polisi dalam menjalankan tugasnya selaku aparat penegak hukum harus berlandaskan pada UU RI No. 2 tahun 2002 tentang Undang-undang Kepolisian Negara. Berdasarkan UU tersebut, yang dimaksud dengan kepolisan adalah seperti yang  tertera dalam UU RI tahun 2002 tentang kepolisian Negara:
Pasal 1
1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[1]
1.    PERAN dan FUNGSI
Pasal 2
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan Keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, danPelayanan kepada masyarakat.[2]
Pasal 5
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam Rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.[3]

2.    TUGAS-TUGAS POKOK
Pasal 13
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[4]
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
    kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f.  Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
    dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
    forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
   hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan
   dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan..[5]

3.    PENYELIDIK
a.    Pengertian
Menurut Pasal 4 KUHAP Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
b.    Wewenang
Wewenang penyelidik tercantuk dalam pasal 5 KUHAP sebagai berikut :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2.Mencariketerangandanbarangbukti;
3.Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa         tandapengenaldiri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b. atas perintah penyidik, dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.


1.         PENYIDIKAN
a.       Pengertian
Menurut pasal 6 KUHAP adalah sebagai berikut: (1) Penyidik adalah:
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh     undang-undang.
b. wewenang penyidik
     a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
     b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
[6]
Berdasarkan ketentuan diatas Nampak secara tegas dinyatakan bahwa peran KepolisianNegara  Republik Indonesia salah satunya penegak hukum. Penegakan hukum merupakan tugas pokok  yang harus dijalankan oleh anggota Kepolisisan.
c.       PELAKSANAAN PENEGAKAN HUKUM
Pelaksanaan pengekan hukum dalam masyarakat haruslah memperhatikan bebrapa hal, antara lain :
(1)    Manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat
(2)   Mencapai nilai keadilan
(3)   Mengandung nilai-nilai keadilan[7]
Secara Universal kegiatan-kegiatan penegakan hukum dapat berupa : pencegahan (preventif) dan represif.[8]
1.      Tindakan Pencegahan (preventif)
Preventif yaitu segala usaha atau tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.  Usaha ini dapat berupa :
a.       Peningkatan kesadaran hukum bagi warga Negara sendiri
b.      Tindakan patrol atau pengamanan kebijakan penegak hukum
c.       Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan,penilitaian, dan pengembangan statistic criminal.


2.      Tindakan Represif
Yaitu tindakan yang harus dilakukan aparat Negara tertentu seseuai dengan ketentuan-ketentuan acara yang berlaku bila terjadi suatu pelanggaran hukum bentuk-bentuk dari pada tindakan represif dapat berupa :
a.       Tindakan administrasi
b.      Tindakan yuridis atau tindakan hukum, yang meliputi antara lain (1)penyelidikan;  (2) penuntutan; (3) pemeriksaan oleh pengadilan; (4) pelaksanaan keputusan pengadilan atau eksekusi.

Harapan Kinerja Lembaga Peradilan dan Institusi-Institusi Penegak Hukum Demi Tegaknya Supremasi Hukum.
            Pada saat ini kita dapat mengamati, melihat dan merasakan bahwa penegakan hukum berada dalam posisi yang tidak menggembirakan. Masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, merebaknya mafia peradilan, pelanggaran hukum dalam pengelolaan APBN dan APBD dikalangan birokrasi. Daftar ketidakpuasan masyarakat dalam penegakan hukum semakin bertambah panjang apabila membuka kembali lembara-lembaran lama seperti kasus Marsinah, kasus wartawan Udin, kasus Sengkon dan Karta, Kasus Tanah Keret di Papua dan lain-lainnya.
            Pengadilan yang merupakan representasi utama  wajah penegakan hukum dituntut untuk mampu  melahirkan tidak hanya kepastian hukum, melainkan pula keadilan, kemanfaatan sosial dan pemberdayaan sosial melalui putusan-putusan hakimnya. Kegagalan lembaga peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum di atas telah mendorong meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum[9].
            Mungkin   benar   apabila   dikatakan    bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum telah  berada  pada titik nadir. Hampir setiap  saat  kita dapat menemukan berita, informasi, laporan  ataupun ulasan  yang  berhubungan  dengan  lembaga-lembaga hukum kita.  Salah satu permasalahan yang perlu  mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya rasa  hormat masyarakat terhadap wibawa hukum.
            Prof. Dr. R. Otje Salman S, SH. Dalam kata pengantar buku yang ditulis Anton F. Soesanto, SH.,M.Hum. berjudul “Wajah Peradilan Kita” antara lain mengemukakan:
“Praktisi hukum apabila membicarakan peradilan selalu mengkaji dalam bentuk kajian inovatif positif fiktif, selalu kajian yang senantiasa berada domain aturan perundang-undangan, sehingga peradilan dilihat sebagai komunitas yang tampak tertib dan teratur karena hanya menampilkan bagian depan (front side) peradilan itu. Peradilan digambarkan sebagai wilayah tanpa masalah dan steril. Namun apakah demikian kenyataannya? Nampaknya kita perlu membuka mata, hati dan pikiran kitauntuk melihat lebih jauh, melihat secara mendalam apa yang terjadi di balik proses pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, melihat pataloginya, sehingga tidak saja sisi depan tetapi bagian belakang juga terlihat jelas. Dengan terbunya pintu belakang nampaknya peradilan itu tidak seindah warna aslinya”.[10]
            Dengan memperhatikan pendapat Prof. Dr. R. Otje Salman S., SH. tersebut di atas kita masih belum dapat mewujudkan harapan kita terwujudnya peradilan dengan segala kelembagaannya yang ideal. Hal tersebut disebabkan karena pada umumnya pereadilan belum didukung oleh unsure-unsur aparat yang memiliki kemampuan dan dedikasi yang tinggi. Ada sementara pendapat mengenai adanya mafia peradilan seperti yang banyak kita baca dan dengar melalui media-media masa baik elektronik maupun cetak. Fenomena tersebut memang sulit untuk dibuktikan tanpa adanya kesungguhan dari masyarakat dan unsur-unsur penegak hukum dalam rangka pembuktiannya.
            Dalam pengantar buku yang ditulis oleh Anton E. Soesanto, SH. M. Hum. Tersebut diatas antara lain disebutkan bahwa kritik yang dilontarkan oleh berbagai kalangan terhadap peradilan di Indonesia telah menjurus ke arah caci maki dan sumpah serapah. Hendak diapakan peradilan dalam kondisi seperti sekarang ini? Bukan semata-mata ungkapan sinis dan pesimis nemun realitas yang  berlangsung mempertotonkan sebuah peradilan dagelan, peradilan yang didalamnya penuh nuansa formalitas yang pada akhirnya menjadikan peradilan sebagai supermarket (jual beli keadilan)
            Masyarakat terus belajar dan semakin kritis. Dalam skema proses masyarakat memainkan peran penting dalam peradilan, artinya perdilan tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat khususnya dalam realitas pembentukan kontrol. Masyarakat tidak dapat dimarginalkan dan hanya dilihat sebagai pengguna jasa peradilan semata, karena pada dasarnya peradilan sangat bergantung pada penilaian, judgment atau sikap kritis yang  dibangun oleh masyarakat itu. Dengan kata lain hidup dan matinya peradilan ditentukan oleh masyarakat.
            Peradilan diharapkan semakin harmonis, atau paling tidak diarahkan untuk menjadi demikan dengan menjunjung tinggi nilai due process bukan merupakan kegiatan yang bersifat kepura-puraan atau tipu daya parasit keadilan. Dan adanya struktur birokrasi kelembagaan hukum yang efektif dan efesien, adanya penegak hukum yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, dan itu semua harus didukung dengan budaya masyarakat yang selalu menjunjung tinggi rule of law serta menyiapkan perangkat hukum yang demokratis.
            Wahyuddin Husein Hufron (2008:211), menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah yang dapat menjamin kehidupan sosial masyarakat yang lebih berkesejahtraan, berkepastian dan berkeadilan.
Dari segi pendekatan akademik, dapat dikemukakan tiga konsep penegakan hukum sebagai berikut:
1.      Total enforcement concept
2.      Fullen force ment concept; 
3.      Actualen forcement concept. 
            Konsep penegakan hukum yang bersifat total, menuntut agar semua nilai yang ada dibalik norma hukum turut ditegakkan tanpa kecuali. Konsep yang bersifat full yang menghendaki perlunya pembatasan dari konsep total dengan suatu hukum formil dalam rangka perlindungan kepentingan individual. Konsep penegakan hukum actual muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan yang ada dan kurangnya peran serta masyarakat (Wahyuddin H Hufron, 2008:212).
           



[1] Lihat pasal 1 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian Republik Indonesia
[2] Lihat pasal 2 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian Republik Indonesia
[3] Lihat pasal 5 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian Republik Indonesia
[4] Lihat pasal 13 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian Republik Indonesia
[5] Lihat pasal 14 UU no.2 tahun 2002 tentang Negara Kepolisian Republik Indonesia
[6] Lihat KUHAP pasal 7
[7] Riduan Syahrani, rangkuman initsari ilmu hukum, bandung: citra aditya bakti h, 192-193
[8] Lihat Tim Dinas komando Armada kawasan Timur ,h 28
[9] Yang dimaksudkan dengan lembaga-lembaga hukum adalah Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Organisasi Pengacara. Perilaku individu-individu yang ada dalam lembaga tersebut secara agregatif membentuk citra lembaga. Tertangkapnya Jaksa yang menjadi pengedar Narkoba, pengacara yang menyuap hakim, maupun rekening tabungan  polisi yang diluar kewajaran, secara simbolik menunjukan bahwa dalam lembaga-lembaga tersebut terdapat masalah yang harus diselesaikan lebih dahulu secara internal.
[10] Tegoeh Soejono. Penegakan Hukum Demi Keadilan dan Kepastian Hukum. (Jakarta: Prestasi Pustaka. 2006) hlm. 133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar